Kamis, 16 Desember 2010

PERANAN ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS

BAB I
PENDAHULUAN

            Era globalisasi yang melanda seluruh Negara mempengaruhi seluruh bidang kehidupan, namun yang paling tampak dan terasa adalah bidang Ekonomi khususnya perdagangan, era ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi yang borderes dalam dunia perdagangan.
            Sejak dahulu setiap masyarakat mengenal apa yang disebut dengan perikatan, batik yang lahir karena Undang-Undang maupun karena suatu perjanjian. Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian maka pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
            Akan tetapi kadang kala dalam pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka perbuat, bahkan lebih berat lagi dapat menimbulkan perselisihan atau konflik akibat tidak dilaksanakannya perjanjian itu oleh salah satu pihak.
A. Penegasan dan Pengertian Judul
            Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian dan pemahaman terhadap judul skripsi : Peranan Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penulis akan menguraikan kata demikata dari judul tersebut.
            Kata peranan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan keberadaan.
            Arbitrase adalah pembelian dan penjualan secara simultan atau barang yang sama didalam dua pasar atau lebih dengan harapan akan memper oleh laba dengan perbedaan harganya.
            Sedangkan menurut RU Arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak dan serta idtikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan tersebut diselesaikan oleh Hakim yang mereka tunjuk dan mereka angkat sendiri, dengan pegertia bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikannya.
            Mengandung arti sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantaian.
            Implementasi artinya pelaksanaan, penerapan. Pelaksanaan mengandung pengertiam proses, cara perbuatan melaksanakan ( Rancangan, keputusandib). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah ketentuan-ketentuan, Peraturan-Peraturan negara yang mengatur tentang Arbitrase.
            Jadi dari uraian arti kata diatas dapat lah dirangkum suatu pemaaman tentang maksud judul Skripsi ini adalam sejaumana keefektifan keberadaan badan penyelesaian sengketa dalam menyelesaikana setiap perselisihan dan benturan sebagai penerapan darai ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Arbitrase yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 thn 1999.
B. Alasan Pemilihan Judul.
            Majunya perdagngan dunia disatu sisi memeng memberikan satu dampak positif, maupun disisi lain ampu memberikan perbedaan fahan, perselisihan pendapat meupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang tersebut.
                         Perbedaan faham tersebut, perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan berturut-turut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagai semua pihak, meskipun tiap-tiap masyarakan mempunyai cari sendiri untuk menyelesaikannya baik secara yuridis maupun non yuridis, namun demikian perkembangan dunia usaha yang berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan dan memberikan rasa aman dan berkeadilan bagi para pihak, salah satu cara yang popular dewasa ini adalah cara penyelesaian sengketa melalui Arbitrase.
            Hal ini yang mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut menegenai Arbitrase agar dapat disebar luaskan kepeda masyarakat khususnya yang bergelut gdalam dunia bisnis.

C. Permasalahan
            Untuk penelitian lebih lanjut dari judul sripsi ini terlebuh dahulu penulis akan menguraikan masalah-masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, adapun masalah yang akan dikaji lebih lanjut adalah :
  1. Apa manfaat dan keuntungngan parapihak yang mengunakan Arbitrase dalam penyelesaian sengketa.
  2. Bagaimana pemerintah mengatur mangenai Arbitrase.
  3. Bagaimana prosedur pelaksanaan Badan Arbitrase Nasional.
  4. Bagaimana kedudukan badan Arbitrase nasional.
D. Hipotesa
            Berdasarkan Etimologi, hipotesa berarti hypo yang sebelim dan tesis artinya dalil atau pendapat. Dengan demikian hipotesis berarti suatu jawaban sementara atau dugaan, dianggap besar kemungkinan untuk menjadi jawaban yang benar.
            Kebenaran hipotesa masih memerlukan pembuktian dan pengujian dalam suatu penilitian yang dilakukan, hipotesa dalam suatu dalil yang dianggap belum menjadi dalil yang sesungguhnya oleh karena masih diuji atau dibolehkan dalam penelitian yang akan dilakukan.
            Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masala penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris, hipotesa adalam pernyataan yang diteriama secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta paduan dalam verifikasi hipotesa adalah keterangan sementara dari fenomena dari hubungan fenomena-fenomena yang komfleks. Adapaun hipotesa yang dapat diajukan adalah :   
  1. Bahwa proses Arbitrase tidak hanya mengenal formalitas tapi juga merupakan satu proses perwasiatan yang secara koritis lebih murah, cepat dan sederhana.
  2. Bahwa Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 untuk mengatur teknis pelaksanaan dan dasar hukum arbitrase. 
E. Tujuan Penulusan
            Pembahasan dimaksudkan untuk menerangkan sejelas-jelasnya mengenai persoalan-persoalan yang timbul secara mendetail untuk menghindari timbulnya keraguan terhadap masalah yang diuraikan dalam skripsi ini .
           
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
  1. Dengan adanya pembahasan materi skripsi ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang praktis bagi masyarakat khususnya pengusaha yang akan mengunakan lembaga Arbitrase sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah bisnis.
  2. Untuk memebrikan gambaran dan penjelasan kapada masyarakat luas mengenai proses dan pelaksanaan keputsan BANI.
  3. Untuk memberikan gambaran dan mengenalkan lembaga Arbitrase kepada masyarakat tentang lembaga Arbitrase sebagai alternatif dalam penyelesaian sengketa.
 
F. Metode Pengumpulan Data
            Metode pengumpulan data berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.
            Oleh bebrapa cara dan teknis (metode) yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data dari suatu karya ilmiah. Dalam hal ini penulis mempergunakan beberapa metode sebagai sumber penulisan dalam penyusuna skripsi ini :
1.      Metode opserpasi.
Mengadaakan pengamatan berdasarkan disiplin ilmu hukum yang telah penulis terima selam duduk dibangku perkulihan fakultas hukum UNPAB khususnya yang menyengkut keperdataan yang dikaitkan dengan segi-segi perkembangan hukum didalam masyarakat.
2.      Library Researd atau penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan maksudnya adalah penelitian yang didasarkan kepada studi kepustakaan untuk medapatkan data-data yang relevan dengan penyusunan skripsi ini, yaitu melalui buku-buku, majalah-majalah yang kesemuannya bertujuan untuk membantu analisa dan sebagai bahan perbandingan antara teori disatu pihak dan praktek dipihak lain.
3.      Field researd atau penelitian lapangan.
Penelitian lapangan maksudnya adalah suatu penelitian yang dilakukan secara langsung kepada objek penelitian, untuk memperoleh kasus-kasus yang berkaitan dengan materi penulisan.
G. GAMBARAN ISI
            Sebagai pedoman untuk mengkaji dan memudahkan cara memahami materi skripsi, maka secara garis besar isi skripsi ini dapat diuraikan seperti dibawah ini
BAB I. PENDAHULUAN
            Dalam bab ini diterangkan mengenai pengertian judul, alsan pemilihan judul, permasalahan, hipotesa, tujuan penulisan, metode mengumpulan data, serta gambaran isi.
BAB II  ARBITRASE SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA.
            Pada bab ini membahas Arbitrase sejarah Arbitrase, sumber dan dasar Hukum Arbitrase.
BAB III RUANG LINGKUP ARBITRSE
            Dalam bab ini membahas syarat-syarat Arbitrase pengangkatan Arbiter dan hak ingkar Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

BAB IV. PERANAN ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
            Dalam bab ini mejelaskan manfaat dan keuntungan Arbitrase, prosedur dan pelaksanaan keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan kedudukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam penyelesain sengketa.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
            Dalam bab iniberisi kesimpulan dan saran-saran dari penulis
DAFTAR PUSTAKA
            Berupa kumpulan daftar literatur dan bibliografi yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi ini. 

BAB II
ARBITRASE SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA

A. Pengertian Arbitrase
            Perkataan arbitrase berasal dari bahasa latin yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya kebijaksanaan itu dapat menimbulkan pengertian tentang arbitrase karena dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbitrase atau suatu mejelis arbitrase dalam menyelesaikan sengketa tidak mengindahkan norma-norma hukum lagi dan menyadarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja.
            Beberapa sarjana dan peraturan perUndang Undangan serta prosedur badan arbitrase yang ada memberikan definisi arbitrase sebagai berikut :
Subakti meyatakan arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau akan mentaati keputusan para hakim yang mereka pilih7.
H Priyatna Andulrasyid menyatakan arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperi yang dikehendaki para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang ditunjukkan oleh para pihak8.
H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan adalah, suatau peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agae sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak mengikat kedua bealah pihak9.
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkaury arbitrase adalah suatu proses yang mudah dan simpel yang dipilih oleh para piahak secara suka rela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut secara final dan mengikat.
Menurut Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengkta umum pasal (1) Huruf 1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan jasa adalah serta memberikan suatu pendapat yang mngikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian (pasal 1 AD. BANI).
Berdasarkan pengertian arbitrase diatas menunjukkan unsur-unsur yang sama yaitu :
  1. adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa baik baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ke-3 diluar peradilan umum untuk diputuskan.
  2. Penyelesain sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa yang meyengkut hak pribadi yang dapat dikuasai sapenuhnya, khususnya disini dalam barang perdagangan, indusri dankeuangan.
  3. putusan tersebut akan menjadi putusan akhir dan mengikat (Final aud binding)
Menurut hukum dianggap wajar apabila orang-orang atau pihak yang terlibat dalam suatu sengketa mengadakan suatu persetujuan behwa mereka menunjuk seorang  pihak ketiga yang berwanang untuk memutuskan sengketa itu, sedangkan mereka berjanji untuk tunduk kepda putusan yang diberikan oleh pihak tersebut bila kemudian hari salah satu pihak tidak mentaati keputusan yang telah diambil oleh oarang yang mereka berikan wewengan untuk memutuskan sengketa itu maka pihak tersebut melanggar perjanjian dan hakim baru menyediakan upaya-upaya untuk memaksa pihak yang melanggar perjanjian itu agar mentaatinya, dengan sendirinya apa yang diserahkan kepada arbitrase atau wasit untuk memutuskan perkara itu haruslah hal-hal yang berbeda dalam kekuasaan bebas para pihak.
Ada beberapa alasan mengapa para pengusaha menyukai forum arbitrase dari pada pengadilan umum antara lain :
  1. Penyelasaian melalui arbitrase tidak mengikuti Formalitas-formalitas yang kental dan kaku.
  2. Arbitrase terlatih lebih murah.
  3. Putusan arbitrase lebih memuaskan karena ditangani oleh arbiter-arbiter yang dipilih oleh para pihak berdasarkan keahliannya.
  4. Proses arbitrase memelihara dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengkata.
  5. Dari kepentingan komersial atau bisnids arbitrse dipandang sebagai penyelesaian yang tepat.
Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase itu sendiri dalam sistem tata hukum indonesia bertitik tolak dari pasal 317 HIR atau pasal 705 RBG, yang mengasakan kebolehan pihak-pihak yang bersengketa yaitu :
-         Menyelesaikan sengketa melaluli juru pisah atau arbitrase.
-         Dan arbitrase diberikan kewenangan untuk menyelesaikan dalam bentuk keputusan
-         Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter atu arbitrase wajib mentaati peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

B. Sejarah Arbitrase.
            Lembaga arbitrase sebgai salah satu ciri khas hubungan internasional merupakan salah satu benih adanya hukum internasional dan hukum perdata internasional meskipun padamulanya arbitrase ini timbul dalam bentuk sederhana.
            Mulanya lembaga ini dalam pergaulan antra bangsa tidak dapat diterima begitu saja seperti yang kita lihat dalam dunia modren, oleh karena merupakan timbulnya suatu lembaga yang sangat penting dalam kehidupan manusia bernegara menimbulkan  kekaburan tentang tujuan lembaga arbitrase.
            Pada lebih kurang 3100 sebelum masehi sebuah teraktat (perjanjian) dibuat oleh raja-raja Negara kota tegash di Mesopotamia lainnya, dibuat dengan suatu perjanjian tentang tapal batas kedua negara itu ditulis pada batau berpahat dimana pimpinan kedua negara itu bersumpah kepada tujuh dewa untuk mematuhinya, dan para dewa akan menghukum negara yang melanggar perjanjian ini. Disini, mulailah timbul atas menghormati perjanjian yang telah dibuat.


Kondisi Pada Zaman Penjajahan Hindia Belanda  
            Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indisch Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
            Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah adapula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah road Run Justice dan Residentiegerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuata dalam Reglement Of De Burger Lijke Tectitordering yang disingkat B. RV atau RV.
            Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraat sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandseh Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rehtglement Buitengesvesten atau RBG.
Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut :
a.       Untuk pulau Jawa dan Madura Berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement Of De Rechter Lijke Organisatie En Het Beleidder Justitie disingkat R.O)
b.       Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan Daerah Seberang laut (Rechtsreglemen Buitengewesten / RBG).
Sedangkan dasarhukum berlakunya Arbitrase pada zaman koloniel belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing mengkehendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RBG tidak membuat aturan tentang Arbitrase, untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 337 HIR, 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement Of de Bergerlijke disingkat RV. S 1847 – jo 1849 – 63).
Dengan adanya politik Hukum yang membedakan 3 kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putra, Hukum Perdata materil yang berlaku pada dasarnya diterapkan Hukum Adat. Pengendaliannya tidak tidak pada pengadilan landreed sebagai pengadilan tingkat pertama, Hukum Acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan RBG untuk derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang).   
Bagai golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Werboek / BW (KUH Perdata) dan Wetboek Van Kophendel / WVK (kitap Undang Undang Hukum Dagang) Hukum Acara adalah Reglement Acara Perdata (RV).
Pada zaman hindia belanda Arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada 3 badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintahan belanda  yaitu :
-         Badan Arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia
-         Badan Arbitrase tentang kebakaran
-         Badan Arbitrase bagi Asuransi kecelakaan.
Zaman Penjajahan Jepang
Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda, peradilan Raod Van Jutitie dan Residentiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberinama (Tihoo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan RBG.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah jepang mengeluarkan peraturan pemerintah bala tentara jepang yang menentukan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang Undang dari pemerintahan dahulu, pemerintah hindia belanda, tetap diakui sah sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.
Setelah Idonesia Merdeka
Untuk mencegah kefakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukan lah pasal 11 aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan : segala badan Negara dan peraturn yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : segala Badan-badan Nagara dan Pemerintah-Pemerinta yang ada sampai berdirinya Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tersebut.
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR dan RV. Mengenai badan peradilan dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan sehari dan appelroad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua, selanjutnya pada masa terjadinya RIS lanrecter ini manjadi pengadilan negeri sedangkan Appelroad menjadi pengadilan tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh pemerintah belanda.
Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja.
Pada zaman RIS, menurut konstitusi yang berlaku saat itu konstitusi RIS, dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa :
  1. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 konstitusi RIS padasaat pemulihan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1999) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peratauran dan ketentan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau dicabut oleh Undang Undang dan ketentuan tata usaha atas kekuasaan konstitusi itu.
  2. Pelanjutan peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang sudah ada sebagai  diterangkan dalam ayat (1) hanya berlaku, sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan piagam pemulihan kedaulatan status UNI, persetuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang beruhubungan dengan pemulihan kedaulatan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan Undang-Undang atau tidak menjalankan.
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam UUDS 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : peraturan Undang Undang dan Ketentuan-Ketentuan Tatausaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peratuaran-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di uabah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentan atas kuasa Undang-Undang ini.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan-peratuaran yang sudah ada sejak penjajahan hindia belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku, jadi ketentuan arbitrase yang diatur RUU juga masih tetap berlaku, keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Memperhatikan gerak dimamis perkembangan dunia bisnis Indonesia yaitu meyangkut dinia perdagangan, keuangan dan industri pada akhir-akhir ini telah menimbulkan leberlisasi Ekonomi, Industri dan lain-lain sesuai dengan perinsip dunia usaha yang cepat namun efesien untuk mendapatkan yang sebanyak-banyaknya. Birdirinya lembaga arbitrase sangat diharapkan khususnya dunia perdagangan yang menginginkan agar sengketa-sengketa yang terjadi dapat diselesaikan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang memuaskan semua pihak. Oleh karena itu umumnya pada perjanjian disebutkan klausula Arbitrase yang mengatur bahwa dalam hal terjadinya perselisihan masalah itu akan diselesaikan melalui Arbitrase.
C. Sumber dan dasar Hukum Arbitrase
            Sumber hukum yang mengatur keberadaan Arbitrase sendiri dalam sistem tata hukum Indinesia bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 RBG yang menegaskan kebolehan-kebolehan pihak yang bersengketa yaitu :
-         Menyelesaikan sengketa melalui jurupisah atau arbiter
-         Dan arbiter diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikan dalam bentuk keputusan
-         Untuk itu baik para pihak maupun arbiter wajib tunduk menurutu peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

Jadi jelas terlihat dari pasal 337 HIR mempunyai kewenangan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membewa dan menyelesaikan perkara yang timbul diluar jalur kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya.
Menurut R. Subekti dasar hukum penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah bahwa menurut hukum dianggap wajar apabila dua orang tau pihak yang terlibatdalam suatu sengketa, mengedakan persetujuan bahwa mereka menunjuk seorang pihak ke-3 yang mereka berikan wewenang untuk memutuskan sengketa itu sedangkan mereka berjanji untuk tunduk pada putusan yang akan diberikan oleh pihak ke-3 tersebut10.
Sebelum Kemerdekaan
a. Satu-satunya dasar hukum yang dapat digunakan sebagai landasan Arbitrase di Indonesia adalah RU yang dalam pasal 615 dinyatakan bahwa : “ adalah diperkenankan bagi siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada orang atau kepada beberapa orang wasit”. RU tersebut adalah Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa da digunakan pada Road van Justice dan residensieng echt, sedangkan Hukum acara yang berlaku bagai Golongan Bumi Putra dan Timur Asing pada landraad- landraad, eradilan-peradilan kabupaten dan distrik adalah HIR bagi mereka yang berada dipulau Jawa dan Madura. HIR/RBG terdiri sendiri dan tidak mengatur mengenai Arbitrase jadi landasan hukum yang digunakan adalah pasal 377 HIR / pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “ jika orang indonesia dan timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib memenuhi peraturan peradilan perkara yang baru bagi golongan Eropa”.
            Dengan demikian golongan bumi putra dan timur asing dapat menyelesaikan perselisihannya secara Arbitrase sebagai mana diatur dalam pasal 615 – 651 RV tersebut.
B. Staatblad 1993 nomor 131 tanggal 23 April 1993.
Dengan staatblad ini pemerintah hindia belanda memberlakukan konfensi jenewa 1927 dihindia belanda.konvensi ini intinya menyangkut pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase asing, putusan Arbitrase asing yang hendak dilaksanakan dihindia belanda terlebih dahulu memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat (distrik) di mana utusan tersebut akan dilaksanakan.
C. Peraturan pemerintah bala tentara jepang untuk jawa dan madura, undang-undang nomor 1 pasal 3 menentukan bahwa:semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetapi diakui sah untuk sementara waktu asal tidak bertetangan aturan militer jepang. Dengan demikin pada zaman pemerintahan jepang. Ketetuan pasal 615-651 RV masih berlaku taatbad.1933 nomo133.
      SESUDAH  KEMERDEKAAN
      1.pasal 11 aturan peralihan undang-undang dasar 1945 yang menentukan:segala badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku selama belum di adakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.hal ini berarti ketentuan yang tercantum dalam pasal 615-651 RV tersebut masih berlaku sebelum di adakan peraturan yang baru.
      2.peraturan pemerintahnomor 2 tahun 1945 yang dalam pasal 1 menyatakan:segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai      

           
          
  
BAB III
RUANG LINGKUP ARBITRASE

A. Syarat – Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter Dan Hak Ingkar 
1. Syarat – Syarat Arbitrase
            Didalam pasal 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, telah disebutkan syarat – syarat arbitrase sebagai berikut :
  1. dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang di adakan oleh permohon atau termohon berlaku.
  2. surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana di maksud ayat (1)
memuat dengan jelas:
a.nama dan alamat para pihak .
b.pennunjukkan kepada klausula atau perjanjian arbitrase berlaku.
c.perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa.
d.dasar tuntutan dan jumlah yang di tuntut, apabila ada.
e.cara menyeksaran yang  dikehendaki dan
f.perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter tidak pernah di adakan perjanjian semacam ini, pemohon dapat mengajukan usul dengan jumlah orbiler yang di kehendaki dalam jumlah ganjil.
            Berdasarkan pasal 8 tersebut berarti para pihak yang mengadakan perjanjian, yang dimana di dalam surat perjanjian, klausula para pihak sepakat apabila terjadi sengketa
      Di belakang hari akan menggunakan lembaga badan arbitrase. Dalam perjanjian arbitrase, para pihak dapat menyepakati penunjukan badan kuasa arbitrasi institu sional atau arbitrase ad hoc. Serta dapat pula menentukan kesepaka arbiter yang akan berfungsi menyelesaikan sengketa adalah arbiter tunggal atau yang bersifat majelis yang berdiri dari 3 orang.
            Akad kompromis harus memuat uraian tentang masalah yang di perselisihkan nama dan alamat para juru pisah yang di tunjuk tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiteran, pernyataan kesediaan dipihak yang bersengketa melalui arbitrase, juru pisah ini lazimnya di ambil dari kalangan profesi sehingga terjamin kemampuannya.
            Juru pisah atau arbiter ini tidak boleh mempunyai kepentingan dalam perkara atau mempunyai hubungan keluaga atau dengan pihak yang berselisih, agar tidak memihak.